19 Desember 2019

Candaan Nabi Muhammad kepada Zahir


Nabi Muhammad saw bukanlah orang melulu serius. Layaknya manusia pada umumnya, beliau juga tidak jarang bercanda dan bersenda gurau dengan para sahabatnya dalam momen-momen tertentu. Namun demikian, kelakar Nabi Muhammad didasarkan kepada hal benar, tidak mengada-ada, dan tidak pernah keluar dari koridor yang hak.  Gurauan yang dibuat Nabi Muhammad bisa merekatkan hubungannya dengan sahabatnya, bukan malah merenggangkan. Terkadang, ada pesan khusus yang ingin disampaikan Nabi Muhammad di balik candaan yang dilontarkannya kepada seorang sahabatnya. Salah satunya adalah kisah beliau mencandai Zahir, sebagaimana diceritakan buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011). Zahir adalah sahabat Nabi dari pedalaman Arab. Ia memiliki rupa yang buruk dan daya pikir yang agak lemah. Kendati demikian, Nabi Muhammad mencintai Zahir. Begitupun juga Zahir. Zahir menghabiskan hari-harinya di gurun pasir karena dia memang tinggal di sana. Suatu ketika, Zahir sedang ada di pasar untuk menjual barang-barangnya. Nabi Muhammad yang ketika itu ada di pasar melihat Zahir. Seketika itu, Nabi Muhammad menangkap Zahir dari belakang tanpa terlihat olehnya. Zahir berteriak-teriak siapa gerangan yang mendekapnya itu. Setelah menoleh ke belakang, Zahir tahu bahwa yang menangkapnya adalah Nabi Muhammad. Zahir tidak lagi ‘memberontakkan’ tubuhnya. Malah dia menggunakan kesempatan itu untuk mengeratkan pelukan Nabi Muhammad. Beliau terus mendekap tubuh Zahir dan menawarkan kepada orang-orang di pasar untuk membeli Zahir.  “Wahai manusia, siapa yang mau membeli budak ini (Zahir)?” kata Nabi Muhammad kepada para orang yang ada di pasar. Mendengar perkataan Nabi Muhammad seperti itu, Zahir menjawab kalau dirinya tidak akan laku dijual. Tidak akan ada yang mau membeli dirinya.  “Namun, di sisi Allah engkau ini mahal,” timpal Nabi Muhammad.  Melalui kisah di atas, Nabi Muhammad menegaskan bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, seperti firman Allah dalam QS al-Hujurat ayat 13. Rupa, warna kulit, suku, kecerdasan, dan bangsa bukanlah menjadi ukuran kemuliaan seseorang di sisi Allah. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad kepada Zahir merupakan cara beliau bersikap atau memperlakukan sahabatnya. Beliau meninggikan penghargaan kepada mereka. Sehingga sahabatnya menjadi senang dan beliau juga gembira dengan kegembiraan sahabatnya. (Muchlishon)


18 Desember 2019

Saat Nabi Muhammad Rindu Kampung Halamannya, Makkah


Nabi Muhammad saw lahir di Makkah pada 12 Rabi’ul Awwal tahun gajah. Beliau tinggal di Makkah selama kurang lebih 53 tahun sebelum akhirnya hijrah (pindah) ke Madinah. Selama tinggal di Makkah, setidaknya ada tiga fase yang dilalui Nabi Muhammad. Fase pertama, fase anak-anak hingga menikah atau usia 25 tahun. Pada fase ini, Nabi Muhammad tumbuh bersama dengan keluarga dan teman-temannya. Kendati demikian, beliau tidak menyembah berhala –sesuatu yang lazim dilakukan masyarakat Makkah pada saat itu, termasuk oleh kerabat dekat Nabi sendiri. Fase kedua, menikah sampai menerima wahyu atau usia 40 tahun. Nabi Muhammad mulai merasakan ‘kegelisahan’ pada fase ini. Beliau merasa ‘ada yang salah’ dengan masyarakat Makkah yang menyembah berhala. Nabi Muhammad kemudian mulai menyendiri (ber-khalwat atau ber-tahannus) di Gua Hira untuk menenangkan pikiran dan hati. Di Gua Hira, ia bermunajat, bertaqarrub, dan bermujahadah kepada Sang Maha Pencipta. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa bulan hingga suatu ketika malaikat Jibril mendatangai dan memberinya wahyu dari Allah. Sejak saat ini, Nabi Muhammad dikukuhkan menjadi Rasul Allah. Beliau kemudian mendakwahkan Islam kepada keluarga dekatnya secara sembunyi-sembunyi. Hingga saat ini, kehidupan Nabi Muhammad di Makkah masih ‘aman-aman’ dan baik-baik saja. Dalam artian, belum ada yang menentang, memusuhi, dan berbuat kasar kepadanya. Kendati demikian, para elit musyrik Quraisy mulai tidak terima dengan dakwah yang disampaikan Nabi Muhammad. Fase ketiga, turunnya wahyu untuk berdakwah secara terang-terangan hingga hijrah ke Madinah atau usia 53 tahun. Ini menjadi fase terakhir Nabi Muhammad tinggal di Makkah. Pada fase ini, Nabi Muhammad mulai menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk Makkah secara terang-terangan. Tidak sedikit yang menjadi pengikut Nabi, namun juga banyak yang memusuhi dakwahnya. Karena motif tertentu –seperti ekonomi, takut kehilangan pengaruh, kekuasaan, dan kehormatan jika masuk Islam- mereka menentang dakwah Nabi Muhammad. Berbagai macam upaya dilakukan untuk menghentikan dakwah Islam. Mulai dari menyuap Nabi, melakukan tindak kekerasan kepada Nabi dan pengikutnya, hingga memboikot umat Islam. Namun semuanya gagal membuat Nabi Muhammad berhenti mendakwahkan Islam.  Dari hari ke hari, kaum musyrik Makkah semakin berani menentang, menghalangi, dan bertindak kasar kepada Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Beliau kemudian mendapatkan perintah dari Allah untuk berhijrah ke Madinah –setelah berdakwah selama 13 tahun di Makkah. Maka sejak saat itu, Nabi Muhammad meninggalkan kampung halamannya, Makkah, dan menetap di Madinah. Hingga akhir hayatnya, Nabi tinggal di Madinah selama 10 tahun. Di Madinah, keadaan Nabi Muhammad dan umat Islam membaik. Tidak ada lagi penindasan dan kekerasan kepada mereka. Malah, banyak penduduk Madinah yang berbondong-bondong masuk Islam dan menjadi pengikut Nabi Muhammad. Di sana, Nabi Muhammad dan umat Islam juga mendapatkan keluarga baru, yaitu kaum Anshar (penduduk Madinah yang memeluk Islam).  Kendati demikian, Nabi Muhammad terkadang rindu dengan kampung halamannya, Makkah. Kota dimana beliau menghabiskan masa anak-anak, remaja, dan dewasanya. Kota yang banyak menyimpang kenangan. Kota dimana Ka'bah berada. Ia berharap bisa berkunjung ke sana –walau sebentar, namun keadaan belum memungkinkan. Salah satu kisah kerinduan Nabi Muhammad pada Makkah terekam dalam kitab Syarah Az-Zarqani Ala Mawahib Laduniyah karya Muhammad Az-Zarqani. Dikisahkan, suatu ketika seorang sahabat yang bernama Ashil al-Ghifari baru saja datang dari Makkah. Ia kemudian berkunjung ke rumah Nabi Muhammad setiba di Madinah. Ketika hendak menemui Nabi Muhammad, Sayyidah Aisyah bertanya kepada Ashil al-Ghifari perihal keadaan terbaru Makkah. “Aku melihat Makkah subur wilayahnya dan menjadi bening aliran sungainya,” jawab Ashil al-Ghifari. Sayyidah Aisyah kemudian mempersilahkan Ashil duduk untuk menunggu Nabi menyelesaikan pekerjaannya di dalam kamar. Tidak berselang lama, Nabi Muhammad keluar kamar dan menanyakan hal yang sama kepada Ashil al-Ghifari, yaitu ‘Bagaimana keadaan Makkah sekarang?’ Beliau sangat ingin tahu bagaimana kondisi Makkah terkini. Kali ini, Ashil al-Ghifari menjawab dengan jawaban yang lebih panjang dan detail dari sebelumnya.  "Aku melihat Mekkah subur wilayahnya, telah bening aliran sungainya, telah banyak tumbuh idzkirnya (nama sejenis pohon), telah tebal rumputnya, dan telah ranum salamnya (sejenis tanaman yang biasa digunakan untuk menyamak kulit)," kata Ashil al-Ghifari. “Cukup wahai Ashil. Jangan kau buat kami bersedih,” sela Nabi Muhammad dengan penuh rindu. Demikianlah tabiat manusia, dia akan merindukan kampung halamannya. Begitupun dengan Nabi Muhammad. Beliau sangat merindukan Makkah setelah sekian tahun meninggalkannya. Nabi Muhammad dan umat Islam baru bisa berkunjung ke kampung halamannya, Makkah, ketika terjadi peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah) pada 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Iya, Nabi dan umat Islam baru bisa melunasi kerinduannya pada kampung halamannya 8 tahun setelah beliau meninggalkan kota itu. (Muchlishon)


16 Desember 2019

Cara Nabi Muhammad Meringankan Beban Ekonomi Abu Thalib


Muhammad kecil hidup di rumah kakeknya, Abdul Muthalib, setelah ibundanya, Sayyidah Aminah, wafat. Kemudian ketika Abdul Muthalib juga wafat, Muhammad kecil akhirnya tinggal bersama pamannya, Abu Thalib. Pada saat awal-awal tinggal bersama Abu Thalib, Muhammad kecil biasa-biasa saja. Ia bermain dan makan bersama dengan anak-anak Abu Thalib.  Namun lama kelamaan, Muhammad kecil mulai sadar bahwa kondisi ekonomi pamannya memprihatinkan. Ditambah pamannya juga memiliki anak yang banyak. Hal itu lah yang menggerakkan Muhammad kecil untuk berbuat sesuatu. Bekerja apapun itu, yang penting bisa menghasilkan uang untuk sekedar membantu ekonomi keluarga pamannya.  Suatu ketika, Muhammad kecil menyampaikan keinginannya untuk menggembala kambing kepada pamannya, Abu Thalib. Sang paman kaget mendengar hal itu. Ia berusaha mencegahnya, namun gagal. Begitu pula dengan sang bibi, Fatimah binti Asad, istri Abu Thalib. Keduanya sebetulnya tidak tega kalau keponakannya yang masih kecil itu harus kerja menggembala kambing. Akan tetapi tekad Muhammad kecil begitu bulat sehingga tidak bisa dihentikan. Dalam buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018) disebutkan, salah satu alasan Nabi Muhammad menggembala kambing saat anak-anak adalah untuk meringankan beban keuangan yang dialami pamannya, Abu Thalib.  Pada kesempatan lain, Nabi Muhammad juga melakukan hal yang sama –membantu meringankan beban ekonomi Abu Thalib, namun dengan cara yang berbeda. Suatu ketika, kaum Quraisy mengalami krisis yang parah. Digambarkan bahwa mereka sampai memakan tulang busuk untuk mengganjal perutnya.  Hal yang sama juga dialami Abu Thalib. Dia tidak memiliki makanan untuk diberikan kepada anak-anaknya. Setelah mengetahui hal itu, Nabi Muhammad berpikir untuk meringankan beban yang menimpa pamannya itu. Gayung bersambut, Allah memberi Nabi Muhammad ilham untuk menyelesaikan persoalan itu. Nabi Muhammad kemudian mendatangi pamannya yang lain, Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau meminta pamannya itu untuk ikut serta membantu Abu Thalib. “Wahai paman, saudaramu, Abu Thalib, banyak keluarga. Kau tahu orang-orang sedang dilanda krisis. Mari kita ke sana, kita ringankan bebannya,” kata Nabi Muhammad.    Seketika itu, Nabi Muhammad dan Abbas bertandang ke rumah Abu Thalib. Kepada Abu Thalib, Nabi Muhammad menyatakan bahwa beliau ingin menanggung atau mengasuh sebagian keluarganya. Abu Thalib mempersilahkannya, namun ia meminta agar Uqail tetap bersamanya.  Seperti tertera dalam buku Hayatush Shahabah (Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandhlawi, 2019), Nabi Muhammad kemudian mengasuh Ali bin Abi Thalib, sedangkan Abbas mengambil Ja’far bin Abu Thalib. Ja’far masih tetap bersama Abbas sampai ia hijrah ke Habasyah (Ethiopia).  Demikian sikap Nabi Muhammad ketika mengetahui ada keluarganya yang mengalami kesulitan. Beliau tidak segan-segan mengulurkan tangan untuk membantu meringankan beban yang menimpa keluarganya. (A Muchlishon Rochmat)


13 Desember 2019

Alasan Rasulullah Menjawab Beda soal Ciuman saat Berpuasa


Rasulullah adalah seorang guru yang handal. Beliau sangat memahami dan mengerti keadaan pada sahabatnya –yang menjadi muridnya. Sehingga ada ajaran atau materi yang disampaikan Rasulullah kepada seluruh sahabatnya sehingga mereka semua bisa mengamalkannya. Ada juga pengetahuan yang hanya diberikan kepada sahabat tertentu karena alasan tertentu pula. ‘Pemilahan’ seperti itu dilakukan Rasulullah berdasarkan keadaan, pemahaman, kecerdasan, dan inteletualitas yang dimiliki sahabat.   Rasulullah juga tidak jarang memberikan jawaban yang berbeda atas satu kasus yang sama, termasuk soal boleh atau tidaknya ciuman suami-istri ketika sedang berpuasa. Rasulullah memberikan dua jawaban yang berbeda ketika ada dua sahabatnya yang bertanya mengenai hal itu (boleh atau tidak ciuman suami-istri saat berpuasa). Sebagaimana riwayat Imam Ahmad –dalam kitab Musnad-nya- dari Abdullah bin Amru bin Ash, dikisahkan bahwa suatu ketika ada seorang pemuda mendatangi Rasulullah. Pemuda tersebut kemudian bertanya kepada Rasulullah perihal boleh atau tidaknya mencium istrinya ketika sedang berpuasa. Seketika itu juga, Rasulullah dengan tegas menjawab tidak boleh.   Beberapa saat setelah itu, ada seorang sahabat Nabi yang berusia sudah tua menanyakan hal yang sama. Yakni boleh atau tidak mencium istri saat berpuasa. Kali ini Rasulullah mengizinkan. Maksudnya, Rasulullah membolehkan jika sahabat tuanya itu mencium istrinya ketika sedang berpuasa. Para sahabat yang saat itu sedang bersama Rasulullah merasa heran dan saling menatap mata antar satu dengan yang lainnya. “Aku tahu kenapa kalian saling tatap. Ketahuilah, sungguh orang tua itu lebih bisa menguasai diri (hawa nafsunya),” kata Rasulullah, dikutip buku Muhammad Sang Guru (Abdul Fattah Abu Ghuddah, 2015). Para sahabat lantas menjadi paham mengapa Rasulullah memberikan jawaban yang berbeda atas satu kasus yang sama. Begitulah jawaban Rasulullah terhadap hukum ciuman suami-istri saat berpuasa. Beliau menjawab sesuai dengan keadaan orang yang bertanya. Rasulullah melarang pemuda melakukan ciuman saat berpuasa kepada istrinya karena itu dikhawatirkan akan memicu kepada tindakan yang lebih lanjut, yaitu hubungan intim. Mengingat pemuda yang kerap kali kerepotan mengendalikan hawa nafsunya.  Sementara sahabat tua diperbolehkan melakukan hal itu (ciuman suami-istri saat berpuasa) karena Rasulullah meyakini dia akan bisa mengendalikan dirinya. Sehingga tidak dikhawatirkan puasanya akan rusak karena tergoda melakukan hal-hal yang lebih jauh, yakni hubungan suami-istri. (Muchlishon)


12 Desember 2019

Rasulullah Tegur Abu Bakar karena Melaknat Orang Kafir


Nabi Muhammad selalu menjaga perkataan yang keluar dari lisannya, dalam segala situasi dan kondisi. Bahkan dalam keadaan marah sekalipun, beliau tidak pernah mengeluarkan ucapan-ucapan yang kotor, merendahkan, apalagi bernada melaknat. Sehingga tidak ada orang yang merasa tersakiti atau terhina dengan perkataan Nabi Muhammad.     Nabi Muhammad juga orang yang selalu menjaga kehormatan orang lain. Tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak layak dan membuat orang lain tersinggung –meskipun itu betul misalnya. Nabi lebih memilih menggunakan cara lainnya yang tidak membuat orang lain sakit hati. Beliau tahu betul cara menjaga perasaan dam kehormatan orang lain.    Nilai-nilai itu kemudian diajarkan kepada para sahabatnya. Nabi Muhammad langsung mengingatkan apabila ada sahabatnya yang perkataannya menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Dalam hal ini, Nabi Muhammad pernah menegur Sayyidina Abu Bakar karena ucapannya membuat anak Sa’id  bin Ash marah.   Dikutip dari buku Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018), suatu ketika Nabi Muhammad bersama dengan Sayyidina Abu Bakar, dua anak Sa’id bin Ash, dan beberapa sahabat lainnya pergi ke Thaif untuk suatu urusan. Di tengah jalan, rombongan melewati sebuah kuburan. Sayyidina Abu Bakar kemudian menanyakan siapa penghuni kuburan itu. Dijawab orang-orang, itu adalah kuburan Sa’id bin Ash.   Mengetahui itu kuburan Sa’id bin Ash, Sayyidina Abu Bakar berdoa kepada Allah agar melaknat penghuni kubur tersebut karena semasa hidupnya memerangi Allah dan Nabi Muhammad. Doa Sayyidina Abu Bakar itu membuat telinga Amr –salah satu anak Sa’id bin Ash yang ikut dalam rombongan- memerah. Amr marah dan mengadukan hal itu kepada Nabi Muhammad.    Kepada Nabi Muhammad, Amr membandingkan kebaikan ayahnya dengan ayah Sayyidina Abu Bakar. Menurut dia, Sa’id bin Ash lebih banyak menolong orang yang kesusahan dari pada ayah Sayyidina Abu Bakar, Abu Quhafah.     “Wahai Rasulullah, ini adalah kuburan orang yang lebih banyak memberi makan dan banyak menolong orang yang kesusahan dibandingkan Abu Quhafah,” kata anak Sa’id bin Ash itu.    Nabi Muhammad kemudian melerai mereka. Di satu sisi, beliau meminta Amr untuk tidak meneruskan perselisihan itu. Di sisi lain, Nabi menasihati Sayyidina Abu Bakar agar menghindari kata-kata yang khsusus jika membicarakan orang kafir. Alasannya, agar anak-anak orang kafir yang dibicarakan itu tidak marah.   "Wahai Abu Bakar, bila kamu berbicara tentang orang kafir maka buatlah kalimat yang masih umum. Bila kamu menyebut seseorang secara khusus, maka anak-anaknya tentu akan marah,” kata Nabi Muhammad kepada Sayyidina Abu Bakar. Umat Islam tidak pernah lagi menjelek-jelekkan orang kafir setelah peristiwa itu. (Muchlishon)

11 Desember 2019

Kisah Ulama Jahiliyah dalam Berfatwa


Ini kisah tentang seorang musyrik (penyembah berhala) pada masa Jahilyah (sebelum Islam). Seorang musyrik itu bernama Amir bin Zharib Al-Adawani, seorang tokoh di tengah masyarakat Jahiliyah. Dia selalu dijadikan tempat bertanya jika terjadi perselisihan di tengah masyarakat. Pada suatu hari, salah satu kabilah Arab datang kepada Amir. Mereka punya masalah yang membutuhkan jawaban (fatwa) dari Amir.   Mereka bercerita kepada Amir, “Kami punya seorang budak yang memiliki dua alat kelamin.  Kami akan mewariskan budak ini, tapi kami tidak tahu, apakah dia laki-laki atau perempuan?” Amir bingung, tidak bisa menjawab. Selama empat puluh hari dia diam, tidak memberikan jawaban dan tidak tahu harus berbuat apa kepada tamunya yang masih bertahan di rumahnya. Kebetulan Amir memiliki budak perempuan bernama Sakhilah yang bekerja menggembala hewan ternak milik Amir. Di hari keempat puluh, Sakhilah mengabarkan kepada Amir bahwa tamu-tamunya telah menghabiskan banyak hewan ternaknya sebagai santapan mereka. Tinggal beberapa ekor saja yang tersisa.   Amir menyuruh Sakhilah pergi untuk menggembala ternak saja. Tapi, Sakhilah mendesak Amir, “Ada apa?” Amir lantas menceritakan pertanyaan di atas kepada Shakilah, dan dia merasa tidak mampu menjawab (memberikan fatwa). Tak diduga, Sakhilah memberikan solusi yang jitu, “Tuan, kenapa Anda bingung? Ikuti saja budak mereka itu (yang memiliki dua alat kelamin) ketika dia buang air kecil. Jika budak itu buang air kecil dari alat kelamin laki-laki, maka dia laki-laki. Jika dia buang air kecil dari alat kelamin perempuan, maka dia perempuan.” “Luar biasa. Kamu benar-benar cerdas. Kamu sungguh telah membantu saya menjawab pertanyaan itu. Sapere aude!” ujar Amir kepada Shakilah. Amir lantas memberikan jawaban tersebut kepada kabilah yang datang dan menginap selama empat puluh hari di rumahnya. Mereka pun puas dengan jawaban tersebut. Imam Al-Auzai mengomentari kisah tersebut, “Laki-laki musyrik itu (Amir bin Zharib Al-Adawani) tidak mengharap surga, tidak takut neraka dan tidak menyembah Allah. Tapi, untuk menjawab satu pertanyaan (memberikan fatwa), dia butuh menahan diri selama empat puluh hari. “Orang yang mengharap surga, takut neraka dan menyembah Allah, seharusnya lebih berhati-hati lagi dalam memberikan fatwa untuk satu pertanyaan yang berhubungan dengan urusan agama Allah.” Kisah ini dinukil dari Kitab Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir. Wallahu a’lam.   KH Muhammad Taufik Damas, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta.


10 Desember 2019

Kecintaan Nabi Muhammad pada Cucu Perempuannya, Umamah


“Rasulullah saw. pernah shalat dengan Umamah binti Amr bin al-Ash di pundaknya. Beliau meletakkan ketika rukuk dan mengangkatnya kembali ketika beliau berdiri,” kata Abdullah bin Harits bin Naufal dan Abu Qatadah dalam sebuah riwayat. 
Nabi Muhammad begitu sayang kepada cucu-cucunya. Beliau kerap kali membawa mereka di atas punggungnya. Memeluk, membelai, dan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Bahkan, Nabi Muhammad beberapa kali memosisikan dirinya ‘seperti kuda’, sementara cucu-cucunya naik di atas punggungnya. Kasih sayang dan perlakuan seperti itu tidak hanya ditujukan Nabi Muhammad kepada Hasan dan Husain, tapi juga dengan cucu perempuannya, Umamah.  
Umamah adalah anak dari Sayyidah Zainab, putri sulung Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah. Sementara bapaknya adalah Amr bin al-Ash bin Rabi’, biasanya dikenal Abul Ash bin Rabi’. Seorang yang masih kerabat dengan Nabi Muhammad. Abul Ash adalah anak dari Halah binti Khuwailid, saudara perempuan dari Sayyidah Khadijah binti Khuwailid. 
Sebagaimana riwayat Abdullah bin Harits bin Naufal dan Abu Qatadah, Nabi Muhammad juga pernah mengajak Umamah ketika sedang shalat; beliau menggendong Umamah di pundaknya, meletakkannya ketika rukuk, dan mengangkatnya lagi saat berdiri. Persis ketika Nabi Muhammad mengajak Hasan dan Husain ketika shalat. 
Tidak hanya itu, kecintaan Nabi Muhammad kepada cucu perempuannya itu juga terlihat ketika beliau memberikan hadiah kepada Umamah. Dalam buku Purnama Madinah: 600 Sahabat Wanita Rasulullah saw. yang Menyemarakkan Kota Nabi (Ibn Sa’ad, 1997) dikisahkan, suatu ketika Negus memberikan perhiasan kepada Nabi Muhammad, termasuk sebuah cincin emas. Setelah menerima hadiah itu, Nabi Muhammad kemudian memberikannya kepada cucunya, Umamah. 
“Hiasilah dirimu dengan ini, gadis kecil,” kata Nabi Muhammad kepada Umamah. 
Pada kesempatan lain, sebagaimana riwayat Ali bin Zaid bon Jid’an, Nabi Muhammad pulang ke rumah dengan membawa sebuah kalung batu onyx. Kepada para anak dan istrinya, Nabi mengatakan bahwa dirinya akan memberikan kalung batu onyx tersebut kepada orang yang paling dicintainya.  
Mendengar hal itu, para keluarga Nabi semula menyangka bahwa kalung tersebut akan diberikan kepada Sayyidah Aisyah. Namun dugaan mereka meleset. Nabi Muhammad malah memanggil Umamah dan meletakkan kalung itu di tangannya, bukan Sayyidah Aisyah. Pada saat itu, Nabi yang melihat ada kotoran di mata Umamah langsung membersihkannya dengan tangannya. 
Sikap Nabi Muhammad terhadap Umamah dan cucu-cucunya yang lain tentu ‘aneh’ bagi masyarakat Makkah pada saat itu. Mengapa? Karena pada saat itu hubungan seorang kakek dengan cucunya sangat lah kaku dan keras, tidak luwes sebagai sikap yang ditunjukkan Nabi Muhammad; mencium, membelai, bermain-main bersama dengan cucu-cucunya. 
Umamah adalah anak kedua –anak terakhir- dari Abul Ash dan Sayyidah Zainab. Kakaknya, Ali meninggal saat masih kecil. Nantinya, Umamah dipersunting oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Sayyidah Fathimah az-Zahra. (A Muchlishon Rochmat)

09 Desember 2019

Kelahiran Nabi Muhammad Ditinjau dari Berbagai Aspek


Bagaimana kita hendak menjelaskan peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW? Kita punya banyak cara melakukannya lewat berbagai perspektif. Ada perspektif Hadits, dimana sanadnya harus dijelaskan oleh ahli Hadits dan terkadang ada perbedaan pandangan akan status kesahihannya. Ada cara pandang sejarawan yang mengumpulkan kisah memakai sanad. Namun bukan saja sanadnya tidak sampai ke Rasul, tapi juga sulit diverifikasi dengan kacamata ilmu Hadits.
Sampai di sini saja sudah akan beda perspektif antara riwayat yang kita temui dalam Shahih Bukhari Shahih Muslim dengan Sirah Ibn Hisyam. Ada lagi yang memandang peristiwa kelahiran Nabi Muhammad dari sudut tasawuf. Maka penjelasan ilmu ma’rifah tentang Nur Muhammad tidak bisa sembarangan dijelaskan di kalangan awam, apalagi hanya di panggung ceramah.  Ada lagi yang menjelaskannya dengan pendekatan cinta. Maka dia akan mengutamakan pendekatan adab, bukan bukti-bukti sejarah atau keshahihan riwayat. Ada lagi yang menuliskan peristiwa kelahiran Nabi lewat syi’ir puji-pujian. Ini jelas berbeda dengan riwayat Hadits. Diksi yang dipilih juga sering berupa metafor yang glorifikasi. Tidak bisa dipahami secara harfiah apa adanya. Puji-pujian dalam Barzanji, misalnya, tidak layak dibenturkan dengan Shahih Bukhari. Karena perspektif kedua kitab ini berbeda. Berbeda bukan berarti keliru.
Baik, sudah paham kan akan perbedaan perspektif yang ada? Saya ingin kasih dua contoh saja. Jangan banyak-banyak contohnya, nanti heboh. Kalau dalam perspektif syi’ir puji-pujian, seperti dalam Barzanji, kita bisa menerima info bahwa Nabi lahir 12 Rabiul Awal. Tapi kalau kita buka kitab sejarah, seperti Sirah Nabawiyah karya Ibn Katsir (jilid 1, hal 199-200) kita akan terkejut mendapati sekian banyak riwayat sejarah yang berbeda tentang tanggal kelahiran Nabi. Ada yang bilang tanggal 17 dan ada pula yang bilang tanggal 8 bulan Rabiul Awal. Ternyata Ibn Katsir juga mencatat ada yang bilang Nabi SAW lahir 12 Ramadhan. Kalau informasi berbeda ini disampaikan dalam ceramah, bisa-bisa umat pada heboh. Padahal dalam perspektif sejarah, perbedaan tanggal ini hal biasa.
Contoh kedua. Benarkah Ibunda Nabi, Siti Aminah, melihat cahaya saat Nabi lahir? Kalau kita lihat syair dalam Barzanji memang disebutkan demikian. Namun bila kita merujuk pada literatur Hadits, diskusinya akan seru dan asyik. Ada sanad dan redaksi yang berbeda, serta berbeda pula para ulama menilai kualitas haditsnya.  
Hadits pertama: Dari Kholid bin Ma’dan dari para sahabat Rasulullah bahwa mereka mengatakan:

‎يا رسول الله ، أخبرنا عن نفسك. قال : دعوة أبي إبراهيم ، وبشرى عيسى ، ورأت أمي حين حملت بي كأنه خرج منها نور أضاءت له قصور بصرى من أرض الشام
“Wahai Rasulullah, tolong beritahukan kepada kami tentang dirimu. Maka beliau bersabda, “(Aku adalah hasil) doa ayahku (Nabi) Ibrahim dan kabar gembira (Nabi) Isa. Dan ibuku bermimpi ketika beliau mengandungku, seakan keluar cahaya darinya menyinari istana Bushra di negeri Syam.” Imam Hakim mengatakan hadits ini shahih. Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan sanadnya jayyid (bagus). Al-Bushiri mengatakan hasan.

Hadits kedua: Diriwayatkan dari Irbad bin Sariyah radhiallahu 'anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, kemudian disebutkan hadits di dalamnya ada,

‎إِنَّ أُمَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَتْ حِينَ وَضَعَتْهُ نُورًا أَضَاءَتْ مِنْهُ قُصُورُ الشَّام


“Bahwa ibunda Rasulullah ketika melahirkan beliau, dia melihat cahaya yang menyinari istana negeri Syam.” Imam adz-Dzahabi mengatakan sanadnya hasan. Tidak mencapai derajat shahih karena menurut beliau perawi yang bernama Abu Bakr bin Abi Maryam itu lemah. Namun menurut Syekh Arnauth, karena ditopang riwayat-riwayat lain yang sejenis, maka statusnya naik menjadi Shahih lighairih. 
Ada tambahan kalimat dalam riwayat lain: ‎
وَكَذلِكَ أمَّهاتِ النبيِّينَ يريْنَ

 “Begitupula ibu-ibu para Nabi juga melihatnya” 
Hadits dengan tambahan kalimat ini dinyatakan shahih oleh Ahmad Syakir, tapi dinyatakan dha’if oleh al-Albani. 
Ini baru dari segi sanad. Dari segi matan, para ulama berbeda memahami kedua riwayat di atas. Ada sebagian yang menganggap redaksinya berbeda: hadits pertama melihat cahaya saat mengandung, sedangkan hadits kedua saat melahirkan. Mana yang benar?
Ada pula yang mencoba menggabungkanya: cahaya itu terlihat dua kali; saat mengandung dan saat melahirkan. Jadi tidak bertentangan.  Ada pula yang mengatakan bahwa hadits pertama itu saat mengandung melihat cahaya dalam mimpi, sedangkan saat lahir Siti Aminah melihatnya secara langsung.  Ini tentu saja kalau kita menerima status kedua riwayat di atas shahih.  Begitulah perbedaan cara melihat peristiwa kelahiran Nabi. Banyak perspektif yang berbeda sesuai dengan pendekatan yang mau kita ambil. Jadi, jangan terburu-buru mau menyalahkan pihak lain. Apalagi menganggap orang lain menghina Nabi hanya karena melihat satu peristiwa dengan perspektif yang berbeda. Terakhir, Gus Muwafiq sempat kontak saya, dan sambil guyon khas NU saya bilang: “njenengan gak salah Gus. Cuma kurang ganteng saja!” Kata beliau: “kalau gitu sudah waktunya saya diajari untuk ganteng.”  
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand, Dosen Senior Monash Law School
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/114185/kelahiran-nabi-muhammad-ditinjau-dari-berbagai-aspek


06 Desember 2019

Saat Nabi Muhammad Diserang Tukang Sihir, Labid bin Al-Asham


“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dan istrinya,” (Surat Al-Baqarah ayat 102).
Firman Allah di atas menjadi salah satu dalil bahwa sihir itu benar-benar ada dan nyata, sama seperti perkara ghaib lainnya. Sebagaimana diketahui, sihir adalah upaya yang dilakukan manusia dengan meminta pertolongan kepada setan untuk mencelakai orang lain. Ayat di atas mencontohkan bahwa sihir bisa membuat sepasang suami-istri bercerai.
 Praktik sihir sudah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Kebencian dan sakit hati biasanya menjadi alasan mengapa seseorang mengirim sihir. Metode yang dipakai tukang sihir untuk mencelakai korbannya begitu bervariasi; ada yang menggunakan rambut calon korban, baju, gambar, dan lainnya. Sihir bisa menyasar siapa saja, termasuk Nabi Muhammad.
Seperti diriwayatkan Asy-Syaikhan dalam Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad pernah disihir oleh Labid Al-Asham. Dikisahkan, suatu ketika Nabi Muhammad pernah membayangkan telah melakukan sesuatu (berhalusinasi mendatangi istrinya satu per satu), namun ternyata beliau tidak melakukannya. Kepada Sayyidah Aisyah, Nabi Muhammad mengatakan bahwa Allah telah memberikan jawaban atas pertanyaan yang pernah beliau ajukan. Jawaban tersebut disampaikan oleh dua malaikat. 
“Aku kedatangan dua laki-laki, salah seorang duduk di sisi kepalaku, seorang lainnya duduk di sisi kakiku,” kata Nabi Muhammad kepada Aisyah. 
Salah seorang malaikat yang berwujud laki-laki tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tengah terkena sihir. Labid bin Al-Asham adalah pelakunya. Kata malaikat tersebut, Labid menyihir dengan menggunakan sisir dan rambut Nabi Muhammad serta kulit mayang kurma jantan. Sihir Labid ditempatkan di bawah batu di dalam sumur Dzarwan. 
Maka keesokan harinya, Nabi Muhammad memerintahkan Ammar bin Yasir dan beberapa sahabatnya untuk mendatangi sumur Dzarwan. Mereka mendapati bahwa air dalam sumur Dzarwan berwarna merah kecokelatan seperti air perasaan daun pacar sementara kepala mayangnya seperti kepala setan. Satu riwayat menyebutkan bahwa gulungan sihir tersebut dibiarkan di dalam sumur. Nabi Muhammad tidak meminta untuk mengangkatnya karena Allah telah menyembuhkannya. Beliau juga tidak suka menyebar keburukan kepada orang banyak. Nabi kemudian meminta agar sumur Dzarwan ditutup. 
Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa gulungan sihir tersebut diangkat dari dalam sumur. Setelah dibakar, buhul tersebut memperlihatkan tali dengan 11 simpul yang susah untuk dibuka. Pada saat itu, turun wahyu Surat Al-Falaq dan An-Nas (muawwidzatain) kepada Nabi Muhammad. Setiap Nabi Muhammad membaca dua surat itu, maka terbukalah satu simpul tali itu dan demikian seterusnya hingga sebelas kali. 
Sejak saat itu, sebelum tidur, Nabi Muhammad selalu membaca muawidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)–ada yang menyebut Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas–sebelum beliau tidur. Tidak lain, ini adalah untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti sihir. Kalau seandainya beliau sakit parah, maka Sayyidah Aisyah yang membacakan surat-surat tersebut dan mengusapkan tangannya pada tubuh Nabi Muhammad. 
Said Ramadhan Al-Buthy dalam The Great Episodes of Muhammad SAW (2017) mengatakan bahwa sihir yang menimpa Nabi Muhammad hanya berpengaruh pada jasad bagian luarnya saja. Artinya, sihir tersebut tidak sampai ‘menyerang’ hati, akal, dan keimanannya. Nabi memang maksum, namun kemaksumannya bukan berarti beliau terbebas dari berbagai macam penyakit dan berbagai faktor manusiawi lainnya. 
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad menderita ketika terkena sihir tersebut, layaknya manusia lain kalau terkena. Ketika seseorang mengalami sakit keras, maka wajar kalau dia diliputi khayalan atau bayangan akibat dari sakit yang dideritanya itu. Begitu pun dengan Nabi, beliau membayangkan telah melakukan sesuatu tapi nyatanya tidak.
Al-Buthy menegaskan bahwa Nabi Muhammad terkena sihir tersebut bukan aib atau kekurangan pada dirinya. Sekali lagi, Nabi Muhammad maksum (terjaga dari kesalahan dan kekurangan dalam menyampaikan syariat Allah). Namun kemaksumannya itu ‘tidak berlaku’ dalam hal-hal keduniawian seperti sakit, lapar, haus, dan lainnya. 
“Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah,” (Surat Al-Baqarah ayat 102). (Muchlishon Rochmat)


05 Desember 2019

SOAL PAS

SOAL PAS SIROH NABAWIYAH
KELAS X
1. Jelaskan secara singkat sejarah penciptaan Nabi Adam dan Hawa!
2. Sebutkan 2 gelar  dan makna nama Nabi Idris AS!
Ceritakan petualangan Nabi Idris dan Izroil!
3. Berapa usia Nabi Nuh?  siapa nama anak anaknya? Berapa jumlah pengikutnya?
4. Ceritakan secara singkat  tentang nabi Ibrahim AS!
5. Siapa nama ibu Ismail AS? Apa pesan yang disampaikan Ibrahim AS kepada Istri-istri Ismail AS?
6. Siapa Ibu nabi Ishak? Apa nama arti ISHAK? Berapa umur ibu nabi Ishak ketika mendapat berita bahagia dari malaikat tentang kehamilannya?
7. Apa arti mimpi Nabi Yusuf AS tentang matahari bulan bintang yang bersujud kepadanya?
8. Siapakah yang mengasuh  Nabi Musa dan membesarkannya?
9. Apa saja mukjizat nabi Musa AS?
10.  Apa gelar julukan dari Nabi Ibrahim AS dan Musa AS yang berdialog dengan Allah SWT?

26 November 2019

Ini Para Pemain Catur di Kalangan Sahabat Rasul dan Tabi’in


Permainan catur telah dibahas oleh ulama terdahulu. Perihal permainan catur, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengharamkannya. Sebagian lagi memakruhkannya. Tetapi ada juga ulama yang membolehkannya. 

قوله (وهو) أي لعب الشطرنج (وقوله حرام) عند الأئمة الثلاثة وهم أبو حنيفة ومالك وأحمد بن حنبل رضي الله عنهم وإنما قالوا بالحرمة للأحاديث الكثيرة التي جاءت في ذمه قال في التحفة لكن قال الحافظ لم يثبت منها حديث من طريق صحيح ولا حسن وقد لعبه جماعة من أكابر الصحابة ومن لا يحصى من التابعين ومن بعدهم وممن كان يلعبه غبا سعيد بن جبير رضي الله عنه   


Artinya, “(Permainan itu) main catur (haram) menurut tiga imam, yaitu Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menyatakan haram atas dasar sejumlah hadits yang mencela permainan catur. Tetapi penulis At-Tuhfah (Ibnu Hajar) dari Mazhab Syafi’I mengutip Imam Al-Hafiz Al-Asqalani mengatakan bahwa kualitas hadits yang mengecam permainan catur tidak diriwayatkan berdasarkan jalan yang sahih dan hasan. Bahkan sejumlah sahabat terkemuka Rasulullah dan banyak tabi’in sepeninggal mereka juga bermain catur. Salah seorang yang bermain catur adalah Sa’id bin Jubair,” (Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathi, Ianatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz IV, halaman 286). 
Ulama yang menghalalkan mendasarkan pandangannya pada semacam ijmak di kalangan sahabat dan tabi’in atas iqrar mereka dan praktik langsung permainan catur. 

وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَبَاحَهَا وَحَلَّلَهَا : بِانْتِشَارِهَا بَيْنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ إِقْرَارًا عَلَيْهَا ، وَعَمَلًا بِهَا 

Artinya, “Ulama yang membolehkan dan menghalalkan permainan catur mendasarkan pendapatnya pada permainan catur itu sendiri di kalangan sahabat nabi dan tabi’in baik praktik (pengalaman) maupun pengakuan atas praktik (iqrar),” (Al-Mawardi, Al-Hawi) 
Adapun berikut ini adalah sejumlah nama sahabat dan tabi’in terkemuka yang mengiqrarkan dan bermain catur itu sendiri seperti dikutip oleh Al-Mawardi dalam karyanya, Al-Hawi sebagai berikut:

 Al-Khatib meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar bahwa Sayyidina Umar bin Khattab pernah lewat saat kami sedang bermain catur.
 Ia lalu memberi salam kepada kami dan tidak melarang kami bermain catur. Ad-Dhahhak bin Muzahim mengatakan, “Aku melihat sahabat Hasan bin Ali RA melewati orang-orang yang sedang bermain catur.
 Ia mendekat dan komentar, ‘Tahan ini. Biarkan bidak itu!’” Abu Rasyid bercerita bahwa ia pernah melihat sahabat Abu Hurairah RA memanggil seorang remaja. Sahabat Abu Hurairah kemudian mengajaknya bermain catur.
 Adapun sahabat Abdullah bin Abbas dalam riwayat disebutkan bahwa dirinya membolehkan permainan catur dan ia juga bermain catur. Sedangkan sahabat Abdullah bin Zubair  RA juga dalam riwayat disebutkan bahwa ia bermain catur.
 “Lima sahabat ini menetapkan (iqrar kebolehan, tanpa menentang) permainan catur orang lain dan juga bermain catur,” (Al-Mawardi. Al-Hawi). 
Adapun pemain catur dari kalangan tabi’in dalam riwayat adalah Sa’id bin Musayyab. Imam As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Sa’id bin Jubair bermain sambil membelakangi papan catur. Al-Muzanni (murid Imam As-Syafi’i) bertanya kepada gurunya, “Bagaimana bisa Sa’id bin Jubair bermain sambil membelakangi papan catur?” “Sa’id mendorong punggungnya ke arah papan catur, lalu bertanya kepada budaknya, ‘Dengan apa ia (lawan main) bertahan?’ ‘Dengan buah catur ini,’ jawab budaknya. ‘Majukan buah catur itu sekian langkah,’ kata Said,” jawab Imam As-Syafi’i.
 Adapun Az-Zuhri meriwayatkan Ali bin Husein yang bermain catur dengan anggota keluarganya. Sementara Abu Lu’lu’ bercerita, “Aku melihat As-Sya’bi bermain catur dengan lawan-lawannya.”
 Rasyid bin Kuraib mengatakan bahwa ia melihat Ikrimah, budak sahabat Ibnu Abbas, berdiri dalam bermain catur. Riwayat juga menyebutkan Muhammad bin Sirin pernah bermain catur. “Ini (main catur) laki-laki banget,” kata Ibnu Sirin, salah seorang tabi’in terkemuka. 
Para sahabat dan tabi’in terkemuka telah masyhur bermain catur. Tetapi jumlah sahabat dan tabi’in yag dikenal sebagai ulama selain mereka yang bermain catur tak terhingga. Kami tidak menyebutkan nama mereka satu per satu untuk meringkas. (Al-Mawardi, Al-Hawi). 
Hal ini jelas keluar dari hukum haram. Ini lebih dekat pada ijmak. Pengingkaran Sayyidina Ali bin Abi Thalib atas permainan catur terletak bukan pada keharamannya, tetapi pengingkaran karena para pemain catur tetap asyik bermain ketika itu mendengar suara azan, ada yang bilang karena mereka tidak menghiraukannya. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/113847/ini-para-pemain-catur-di-kalangan-sahabat-rasul-dan-tabi-in
onten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

21 November 2019

Proses Pernikahan Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah


Nafisah binti Munyah adalah sahabat Sayyidah Khadijah. Dia memiliki peran penting dalam terwujudnya pernikahan Nabi Muhammad dengan sahabatnya itu. Semula Sayyidah Khadijah curhat kepada Nafisah perihal perasaannya terhadap Nabi Muhammad. Mulanya, Sayyidah Khadijah minder dan ragu apakah Nabi Muhammad mau menerimanya, mengingat perbedaan status dan umurnya yang sangat mencolok. 

Tapi, Nafisah berhasil meyakinkan Sayyidah Khadijah bahwa dia adalah orang yang pantas bagi Nabi Muhammad. Selain memiliki nasab yang agung, Sayyidah Khadijah adalah seorang saudagar yang sukses dan perempuan yang dihormati di Makkah.
 Nafisah kemudian menyusun sebuah rencana. Ia menemui Nabi Muhammad dan menceritakan semuanya tentang perasaan Khadijah. Iya, dia lah ‘mak comblang’ yang menyambungkan perasaan Sayyidah Khadijah kepada Nabi Muhammad. 

"Muhammad, aku Nafisah binti Munyah. Aku datang membawa berita tentang seorang perempuan agung, suci, dan mulia. Pokoknya ia sempurna, sangat cocok denganmu. Kalau kau mau, aku bisa menyebut namamu di sisinya," kata Nafisah kepada Muhammad, dikutip dari Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018).

            Nafisah adalah orang yang cerdik. Setelah menyampaikan ‘lamaran’ Sayyidah Khadijah, ia tidak meminta Nabi Muhammad untuk menjawab secara langsung pada saat itu juga. Nabi Muhammad diberi waktu untuk memikirkan dan merenungkannya. Apa yang dilakukan Nafisah ini menjadi pintu dari perjalanan cinta Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah.


Singkat cerita, baik Nabi Muhammad maupun Sayyidah Khadijah kemudian berdiskusi dengan keluarga besarnya masing-masing untuk menindak lanjuti apa yang disampaikan Nafisah tersebut. Setelah melalui pertimbangan yang matang, akhirnya kedua keluarga besar sepakat untuk menikahkan anak-anaknya. 

Nabi Muhamamad diantar oleh pamannya—Abu Thalib dan Hamzah—berangkat ke rumah Sayyidah Khadijah. Mereka disambut oleh paman Sayyidah Khadijah, Amr bin Asad. Abu Thalib yang ditunjuk sebagai juru bicara Nabi Muhammad langsung menyampaikan khutbah tentang maksud dan tujuan kedatangan mereka ke kediaman Sayyidah Khadijah.

 Merujuk buku Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018), berikut khutbah lengkap Abu Thalib saat meminang Sayyidah Khadijah untuk keponakannya;

 "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita anak keturunan Ibrahim, hasil tumbuhan Isma’il, dan berasal usul dari Ma’d, serta unsur kejadian dari Mudhar. (Segala puji bagi-Nya) yang menjadikan kami pemelihara rumah-Nya, pengelola tanah suci-Nya, dan menganugerahi kita rumah (Kakbah) yang dikunjungi, wilayah yang aman, dan menjadikan kita penguasa-penguasa atas manusia," kata Abu Thalib. 

"Selanjutnya, anak saudaraku ini, Muhammad, adalah dia yang tidak diukur seorang pemuda pun dari Quraisy, kecuaali dia mengunggulinya dalam kemuliaan, keluhuran, keutamaan, dan akal. Kedati dalam hal harta dia memiliki sedikit, tetapi harta adalah bayangan yang hilang dan pinjaman yang harus dikembalikan. Muhammad dalah siapa yang hadirin telah kenal keluarganya. Dia melamar Khadijah putri Khuwailid, dan bersedia memberi mahar dari harta milikku yang jumlahnya secara tunda sekian dan kontan sekian. Di samping itu, dia, demi Allah, sungguh bakal menjadi berita penting dan peristiwa agung," tambahnya. 

Khutbah lamaran yang disampaikan Abu Thalib tersebut dibalas oleh Amr bin Asd dengan sebuah ‘perumpamaan’. Kata Amr, "Ini adalah unta jantan yang tidak dipotong atau ditandai hidungnya." Dalam masyarakat Arab, unta berketuruna baik maka hidungya tidak dilukai. Unta tersebut juga diberi kebebasan mendekati unta betina manapun untuk melanjutkan keturunannya. 


Sementara unta yang berasal dari keturunan yang tidak terpuji akan ditandai hidungnya. Ia dijauhkan dari unta betina agar tidak melahirkan keturunan yang buruk. Riwayat lain menyebutkan bahwa Waraqah bin Naufal lah yang menyambut khutbah Abu Thalib tersebut.

 kata Waraqah: "Segala puji bagi Allah yang menjadikan kita sebagaimana yang Anda sebut-sebut. Kita adalah pemuka-pemuka masyarakat Arab dan pemimpin-pemimpinnya, saudara-saudara wajar untuk kemuliaan itu, keluarga besar pun tidak mengingkarinya keutamaan saudara-saudara, tidak juga seorang pun bisa menampik kebanggaan dan kemuliaan saudara-saudara." 

"Kami senang menjalin hubungan dengan saudara-saudara dan menghubungkan (diri) dengan kemuliaan saudara-saudara, maka bersaksilah atasku wahai masyarakat Quraisy bahwa sesungguhnya aku telah menikahkan Khadijah binti Khuwailid dengan Muhammad putra Abdullah dengan emas kawin 400 dinar," kata Waraqah bin Naufah.

 Setelah mendengar perkataan Waraqah, Abu Thalib mengatakan bahwa dirinya senang bila paman Sayyidah Khadijah, Amr bin Asad, juga ikut berkhutbah untuk menikahkan Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah. 

"Bersaksilah atasku, bahwa aku telah menikahkan Muhammad bin Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid," kata Amr bin Asad yang disaksikan para pemuka Quraisy. Dengan demikian, maka Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah resmi menjadi suami-istri. 

Penulis: Muchlishon Rochmat Editor: Kendi Setiawan

https://islam.nu.or.id/post/read/111252/proses-pernikahan-nabi-muhammad-dan-sayyidah-khadijah

 


 

LATIHAN PAT KELAS 10 IPA 1 2 3 4

  Pilihlah jawaban yang benar ! 1.          Allah S WT telah mewajibkan menuntut ilmu bagi setiap muslim, diantara dalil perintah ...