30 April 2020

CORONA MENJADIKAN KELUARGA LEBIH AKRAB

Wabah corona menyebabkan aktivitas kemasyarakatan menurun drastis. Setiap orang diimbau agar berdiam diri di rumah, menghindari bepergian tanpa alasan yang benar-benar penting dan mendesak. Bahkan salat berjamaah di masjid dan surau sekali pun terpaksa dihentikan untuk sementara waktu.   
Bagi sebagian orang, absennya kegiatan di ruang publik itu mungkin terasa menyiksa. Nongkrong bersama kawan-kawan menjelang akhir pekan, berbincang dengan kolega di kantor di sela-sela rutinitas kerja, atau bertemu rekan bisnis sambil bertukar pikiran, misalnya, tak lagi bisa leluasa diagendakan. Tak terkecuali keinginan mencicipi syahdunya shakat Tarawih ramai-ramai di luar rumah.  Mereka yang kondisi finansialnya relatif aman pun sepertinya juga tidak terbebas dari belenggu rasa kesepian. Kecukupan materi bukan berarti jaminan selesainya kebutuhan berinteraksi. Sebagai mahluk sosial, manusia selalu memerlukan komunitas pergaulan agar dinamika kehidupannya berjalan seimbang.   Memang era digital dewasa ini telah berhasil membuang sekat geografis sekaligus menjadikan teknologi komunikasi dapat dinikmati oleh siapa saja. Sehingga, kita semua mampu bertemu dan bertegur sapa satu sama lain dengan mudah dan murah, secara visual maupun sekedar berupa percakapan suara, melalui beragam platform media sosial.   Namun, sulit dipungkiri bahwa suasana tatap muka secara fisik bisa menghadirkan sensasi yang berbeda dibanding bersua via wahana daring. Kehangatan bercengkerama dan keseruan mengekspresikan emosi saat bertemu langsung dengan seseorang cenderung menjadi agak lemah tatkala ruang interaksi berpindah ke layar HP atau komputer.    
Pendek kata, kebosanan pun tak terelakkan bila sehari-hari dari pagi sampai malam harus stay at home laksana pesakitan yang sedang menjalani masa hukuman kurungan, seolah-olah udara kebebasan yang biasanya dihirup tiba-tiba hilang begitu saja.    Tetapi pernahkah terpikir bahwa di balik keterkungkungan aktivitas kita sebenarnya terselip anugerah besar, yakni kesempatan memperkuat hubungan keluarga yang sebelumnya mungkin sering terabaikan atau sekedar memperoleh porsi perhatian yang kurang memadai. Bukankah saat-saat seperti ini justru melahirkan keberlimpahan waktu bagi kita untuk mempererat hubungan dengan pasangan dan anak-anak, sekaligus memahami perkembangan mereka?    
Banyak sekali orang yang meyakini pentingnya rapat rutin di kantor, membahas berbagai persoalan baru sambil mengkonsolidasi seluruh elemen penggerak roda perusahaan atau organisasi, tetapi mengabaikan vitalnya acara family time atau 'kumpul keluarga' secara berkala dalam rangka memperkokoh ikatan di antara para anggotanya.   Padahal, our deepest pain and highest happiness always come from home; penderitaan terdalam sekaligus kebahagiaan tertinggi kita selalu bersumber dari dalam rumah. Jika kita kebetulan berkonflik dengan atasan di tempat kerja hingga tak lagi menemukan titik kompromi, umpamanya, mungkin tak perlu waktu lama untuk memutuskan ganti bos, atau memilih berhenti (resign) dan pindah kerja.   
Tapi kalau polemik yang terjadi menyangkut hubungan kita dengan anak, maka sampai kapan pun kita mesti menghadapi dan menuntaskannya, karena tak ada orang waras yang berkeinginan mengganti anak lantaran kelelahan bertikai dengan darah dagingnya sendiri.    Kuatnya keterkaitan emosi di dalamnya merupakan alasan utama, mengapa seseorang pada umumnya lebih mudah menjadi 'lumpuh' ketika dilanda prahara rumah tangga ketimbang saat tersandung masalah pekerjaan atau urusan profesional lainnya.   Jadi, tidaklah berlebihan apabila kita berupaya 'merayakan' seruan stay at home belakangan ini dengan memperkokoh pilar-pilar keluarga kita; meningkatkan keharmonisan hubungan dengan pasangan maupun anak-anak, sehingga kebosanan yang mendera malah bisa berubah menjadi rasa bahagia.


 Penulis adalah Ketua LKK PBNU. Saat ini menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan RI.


29 April 2020

Maksud Hadits ‘Tidur Orang Berpuasa adalah Ibadah’

Tidur pada saat berpuasa dapat disebut sebagai ibadah ketika memenuhi dua kriteria. Salah satu hadits yang populer tiap Ramadhan tiba adalah hadits tentang keutamaan orang berpuasa yang bahkan tidurnya pun berstatus sebagai ibadah. Berikut hadits yang menjelaskan tentang hal ini: 

  نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ 
  “Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).   

Hadits ini seringkali dipolitisasi oleh sebagian masyarakat sebagai pembenaran bersikap malas-malasan dan banyak tidur saat menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Padahal pemikiran demikian tidaklah benar, sebab salah satu adab dalam menjalankan puasa adalah tidak memperbanyak tidur pada saat siang hari. Imam al-Ghazali menjelaskan: 
  
بل من الآداب أن لا يكثر النوم بالنهار حتى يحس بالجوع والعطش 

ويستشعر ضعف القوي فيصفو عند ذلك قلبه  

“Sebagian dari tata krama puasa adalah tidak memperbanyak tidur di siang hari, hingga seseorang merasakan lapar dan haus dan merasakan lemahnya kekuatan, dengan demikian hati akan menjadi jernih” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumid Din, juz 1, hal. 246)  

 Lantas bagaimana sebenarnya maksud dari tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah? Apakah terdapat ketentuan khusus untuk menggapai fadhilah ini?   Tidur memang bisa berkonotasi negatif sebab identik dengan bermalas-malasan. Namun di sisi lain, tidur juga dapat bernilai positif jika digunakan untuk mempersiapkan hal-hal yang bernuansa ibadah, seperti untuk mempersiapkan fisik dalam menjalankan ibadah. Hal ini seperti keterangan dalam kitab Ittihaf sadat al-Muttaqien:  

 نوم الصائم عبادة ونفسه تسبيح وصمته حكمة، هذا مع كون النوم 

عين الغفلة ولكن كل ما يستعان به على العبادة يكون عبادة  

 “Tidurnya orang puasa adalah ibadah, napasnya adalah tasbih, dan diamnya adalah hikmah. Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun tidur merupakan inti dari kelupaan, namun setiap hal yang dapat membantu seseorang melaksanakan ibadah maka juga termasuk sebagai ibadah” (Syekh Murtadla az-Zabidi, Ittihaf Sadat al-Muttaqin, juz 5, hal. 574).   Baca juga: Tidur Seharian, Adakah Pahala Puasanya?   Menjalankan puasa jelas merupakan sebuah ibadah, maka tidur pada saat berpuasa yang bertujuan agar lebih bersemangat dalam manjalankan ibadah terhitung sebagai ibadah. Namun fadhilah ini tidak berlaku tatkala seseorang mengotori puasanya dengan melakukan perbuatan maksiat, seperti menggunjing orang lain. Dalam keadaan demikian, tidur pada saat berpuasa sudah tidak lagi bernilai ibadah. Mengenai hal ini Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

   قال أبو العالية: الصائم فى عبادة ما لم يغتب أحدا، وإن كان نائما على فراشه، فكانت حفصة تقول: يا حبذا عبادة وأنا نائمة على فراشي  
 “Abu al-Aliyah berkata: orang berpuasa tetap dalam ibadah selama tidak menggunjing orang lain, meskipun ia dalam keadaan tidur di ranjangnya. Hafshah pernah mengatakan: betapa nikmatnya ibadah, sedangkan aku tidur diranjang” (Ahmad ibnu Hajar al-Haitami, Ittihaf Ahli al-Islam bi Khushushiyyat as-Shiyam, hal. 65).   Hal yang sama juga diungkapkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani: 

  وهذا في صائم لم يخرق صومه بنحو غيبة، فالنوم وإن كان عين 

لغفلة يصير عبادة، لأنه يستعين به على العبادة 

“Hadits ‘tidurnya orang berpuasa adalah ibadah’ ini berlaku bagi orang berpuasa yang tidak merusak puasanya, misal dengan perbuatan ghibah. Tidur meskipun merupakan inti kelupaan, namun akan menjadi ibadah sebab dapat membantu melaksanakan ibadah” (Syekh Muhammad bin ‘Umar an-Nawawi al-Bantani, Tanqih al-Qul al-Hatsits, Hal. 66)   
Orang yang berpuasa namun masih saja melakukan perbuatan maksiat dalam puasanya, tidak mendapatkan fadhilah (keutamaan) dalam hadits “tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”, sebab tidur yang dia lakukan tidak dimaksudkan sebagai penunjang melaksanakan ibadah puasa, karena ia telah mengotorinya dengan perbuatan maksiat. 
  Walhasil, tidur pada saat berpuasa dapat disebut sebagai ibadah ketika memenuhi dua kriteria. Pertama, tidak dimaksudkan untuk bermalas-malasan, tapi untuk lebih bersemangat dalam menjalankan ibadah. Kedua, tidak mencampuri ibadah puasanya dengan melakukan perbuatan maksiat.   Semoga amal ibadah puasa kita diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala


28 April 2020

TUGAS

TUGAS DARING
Buatlah video singkat kalian sedang melafalkan niat puasa Ramadhan dan doa ketika berbuka puasa beserta artinya
kemudian upload di instagram kalian
setelah itu tag Instagram yayasan Al-Azhar, SMA Al-Azhar dan instagram @ariefhakimofficial
buatlah sekreatif mungkin dan sejelas mungkin.
batas upload pukul 17.00 WIB.

PELAFALAN NIAT PUASA BERBAGAI REDAKSI


      Berikut ini adalah beberapa redaksi lafal niat puasa yang dapat dibaca oleh mereka yang terkena kewajiban puasa Ramadhan. Niat puasa wajib di dalam hati pada malam hari seperti puasa Ramadhan, puasa nazar, dan qadha puasa wajib merupakan kewajiban yang menentukan keabsahan puasa seseorang menurut Mazhab Syafi’i. Adapun pelafalan niat puasa sangat dianjurkan. Berikut ini adalah beberapa redaksi lafal niat puasa yang dapat dibaca oleh mereka yang terkena kewajiban puasa Ramadhan.

 1. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.” Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr dengan alasan lil mujawarah. 

2. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةَ لِلهِ تَعَالَى Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanata lillāhi ta‘ālā Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.” Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanata” diakhiri dengan fathah sebagai tanda nashab atas kezharafannya. 

3. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.” Kata “Ramadhani” dianggap sebagai mudhaf ilaihi yang juga menjadi mudhaf sehingga diakhiri dengan kasrah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr dengan alasan mudhaf ilaihi dari "Ramadhani".
   
4. نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ 
Nawaitu shauma Ramadhāna Artinya, “Aku berniat puasa bulan Ramadhan.”

 5. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ/عَنْ رَمَضَانَ 
Nawaitu shauma ghadin min/'an Ramadhāna Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada bulan Ramadhan.”   

6. نَوَيْتُ صَوْمَ الْغَدِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ عَنْ فَرْضِ رَمَضَانَ 
Nawaitu shaumal ghadi min hādzihis sanati ‘an fardhi Ramadhāna Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada tahun ini perihal kewajiban Ramadhan.” Perbedaan redaksi pelafalan ini tidak mengubah substansi lafal niat puasa Ramadhan. Redaksi (1) dikutip dari Kitab Minhajut Thalibin dan Perukunan Melayu. Redaksi (2) dan (6) dinukil dari Kitab Asnal Mathalib. Redaksi (3) dikutip dari Kitab Hasyiyatul Jamal dan Kitab Irsyadul Anam. Sedangkan redaksi (4) dan (5) diambil dari dari Kitab I’anatut Thalibin.   ***   Adapun redaksi pelafalan yang tampaknya sulit diterima menurut kaidah gramatikal bahasa Arab (nahwu) adalah komposisi sebagai berikut: 

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةَ/السَّنَةُ لِلهِ تَعَالَى 
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanata/sanatu lillāhi ta‘ālā Redaksi pelafalan ini tampaknya sulit diterima menurut kaidah ilmu nawhu karena menganggap kata “Ramadhani” sebagai mudhaf dan diakhiri dengan “sanata/sanatu” yang entah apa kedudukan gramatikalnya karena agak jauh untuk ditarik ke arah mana pun. 
Adapun argumentasi madzhab Syafi’i atas kewajiban niat puasa wajib di malam hari ditunjukkan antara lain oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Hasyiyatul Iqna’-nya sebagai berikut: 

ويشترط لفرض الصوم من رمضان أو غيره كقضاء أو نذر التبييت وهو إيقاع النية ليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت النية قبل الفجر فلا صيام له. ولا بد من التبييت لكل يوم لظاهر الخبر 


Artinya, “Disyaratkan memasang niat di malam hari bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, atau puasa nadzar. Syarat ini berdasar pada hadits Rasulullah SAW, ‘Siapa yang tidak memalamkan niat sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.’ Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Iqna’, [Beirut, Darul Fikr: 2007 M/1428 H], juz II). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)


22 April 2020

SAUDI TIADAKAN SHOLAT TARAWIH


Makkah, NU Online 
Otoritas Arab Saudi memperpanjang penangguhan shalat berjamaah di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah selama bulan Ramadhan tahun ini. Langkah ini sebagai upaya untuk membendung penyebaran virus corona (Covid-19).  Hal itu diumumkan oleh Presiden Jenderal Dua Masjid Haramain, Sheikh Dr Abdulrahman bin Abdulaziz al-Sudais melalui akun Twitter-nya, sebagaimana diberitakan Arab News, Selasa (21/4). Kata al-Sudais, muazin di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi akan tetap mengumandangkan azan, sebagai panggilan shalat, selama Ramadhan. Namun demikian, dua masjid tersuci bagi umat Islam itu akan ditutup bagi para jamaah. Dengan demikian maka tidak akan ada shalat berjamaah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi selama Ramadhan nanti.    Tidak hanya itu, layanan buka puasa bersama dan iktikaf di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi juga dibatalkan. Sejak bulan lalu, otoritas terkait mulai mengintensifkan tindakan pencegahan virus corona (Covid-19) dan juga meningkatkan koordinasi antara semua pihak untuk menjaga kesehatan para jamaah. Sebelumnya, Grand Mufti Kerajaan Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Mohammed Al El-Sheikh juga mengumumkan agar shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri dilaksanakan di rumah masing-masing, jika pandemi virus corona (Covid-19) belum reda. Demikian dilaporkan kantor berita Saudi, SPA, Jumat (17/4).  Abdul Aziz menuturkan, tidak mungkin melaksanakan shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri di masjid-masjid karena itu akan ‘melanggar’ tindakan pencegahan yang diambil otoritas terkait untuk memerangai penyebaran virus corona.  Karena itu, dia meminta warga Saudi untuk shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri di rumah masing-masing. Menurutnya, shalat Idul Fitri bisa dilaksanakan di rumah tanpa khutbah.   Sampai hari ini, Selasa (21/4), merujuk data Worldometers, ada 10.484 kasus virus corona di Arab Saudi, di mana sebanyak 103 dinyatakan meninggal dan 1.490 sembuh. Masjid tersuci ketiga bagi umat Islam, Masjidil Aqsa di Yerusalem juga ditutup untuk jamaah selama bulan Ramadhan demi mencegah corona. Pengurus yang ditunjuk Yordania untuk mengurusi situs-situs suci Islam, Wakaf Islam Yerusalem, mengatakan keputusan tersebut sangat ‘menyakitkan’ bagi umat Islam.   Diberitakan Aljazeera, Kamis (16/4), dewan pengurus menyebut bahwa penutupan Masjidil Aqsa selaras dengan fatwa ulama dan pertimbangan medis. Karena itu, umat Islam diimbau untuk melaksanakan shalat di rumah masing-masing selama bulan Ramadhan. 
Pewarta: Muchlishon 
Editor: Kendi Setiawan

21 April 2020

TUGAS DARING SISWA SISWI SMA AL AZHAR 3 BANDAR LAMPUNG


CERITAKAN SECARA SINGKAT PERISTIWA PERANG MU'TAH
TUGAS DITULIS DENGAN TANGAN
KEMUDIAN DIFOTO + PAP WAJAH
LALU KIRIM KE EMAIL
ariefhakimofficial@gmail.com
tidak menerima pesan WA

paling lambat pukul 
17.00 WIB

20 April 2020

SEDIKIT KISAH KH ABDUL WAHID HASYIM


Saat bertugas sebagai Menteri Agama, KH Abdul Wahid Hasyim pernah terlibat perdebatan sengit dengan salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Masyumi. Alissa Wahid menceritakan hal tersebut saat Webinar Haul Ke-67 KH Abdul Wahid Hasyim pada Ahad (19/4). Cerita tersebut didapatkan dari pamannya, dr Umar Wahid yang mendengar langsung ibunya menceritakan peristiwa tersebut. Sementara, Nyai Solichah melihat langsung suaminya beradu pendapat dengan orang tersebut. Dari balkon, ia melihat salah seorang anggota DPR itu habis-habisan mencecar sang suami terhadap kebijakannya sebagai Menteri Agama. Tentu saja, Nyai Solichah yang tidak lain adalah putri KH Bisri Syansuri (Rais Aam PBNU 1971-1981) kesal bukan kepalang melihat suaminya diperlakukan seperti itu. Namun, saat melenggang pulang, Kiai Wahid justru menawari mobilnya untuk turut ditumpangi oleh anggota dewan yang mencecarnya tersebut. Ia mengantar pulang hingga betul-betul sampai ke depan rumahnya. Setelah mengantarkan pulang politisi Masyumi tersebut, Nyai Solichah bertanya kepada Kiai Wahid Hasyim mengenai sikapnya yang justru malah berlaku baik kepada orang yang terlihat begitu memusuhinya. Saat itu, Kiai Wahid Hasyim menjawab bahwa politisi itu tengah menjalankan tugasnya sebagai anggota DPR, yakni mengkritisi pemerintah agar berjalan sesuai amanat. Oleh karenanya, ia tetap harus dihormati. Justru, menurut Kiai Wahid, ia menjalankan tugasnya dengan baik. Di luar itu, bagi KH Wahid Haysim, sosok anggota DPR itu tetaplah teman “Tetapi di ruang itu dia menjalankan tugasnya, saya menjalankan tugas saya sebagai wakil pemerintah sebagai menteri agama, dia sebagai anggota parlemen wakil rakyat,” kata Alissa menjelaskan jawaban Kiai Wahid untuk memenuhi rasa penasaran sang istri. Dengan pernyataannya yang demikian, bagi Alissa, hal tersebut bukanlah jawaban suami terhadap istrinya. “Jawaban Kiai Wahid Hasyim menurut saya bukan jawaban suami kepada istri, tapi jawaban seorang guru bangsa,” katanya. Di situlah terdapat pelajaran sangat berharga. Sebab, sebagaimana diketahui bersama kata Alissa, saat ini politik kehilangan moralitasnya, kehilangan etikanya. Bahkan, tak jarang ada yang mampu melakukan pengkhianatan kepada orang yang berjuang bersama untuk kepentingan politik. “Sementara beliau Kiai Wahid Hasyim secara utuh melihat peran dan melihat bagaimana sebuah sistem perpolitikan itu harus dijalankan. Beliau konsisten di sana,” ungkap Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu. Menambahi Alissa, Sejarahwan Iip D Yahya menyebut bahwa politisi tersebut bernama Amel. Secara garis politik, Amel dan Kiai Wahid Hasyim memang berlawanan mengingat saat itu, tahun 1953, Partai NU sudah keluar dari Masyumi. Menurut Iip, Kiai Wahid Hasyim menawarkan mobilnya untuk mengantarkan Amel karena pada saat itu ia sudah lama berdiri menunggu datangnya angkutan. “Pak Amel ini berdiri lama di depan gedung dewan, tidak ada angkutan di depan, lalu beliau (Kiai Wahid) antarkan ke rumah,” pungkasnya.  


 Pewarta: Syakir NF Editor: Alhafiz Kurniawan

17 April 2020

Sholawat Nahdhiyah


Lirik Sholawat
Karya: K.H. Hasan Abdul Wafi

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
صَلَاةً تُرَغِّبُ وَ تُنَشِّطُ
وَ تُحَمِّسُ بِهَا الجِهَاد لِإِحْيَاءِ
وَ اِعْلَاءِ دِيْنِ الإِسْلَام
وَاِظْهَارِشَعَائِرِهِ عَلَي طَرِيْقَةِ
جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ العُلَمَاءِ
وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
. اللهُ اللهُ اللهُ اللهُ.
ثَبِّتْ وَانْصُرْ اَهْلَ جَمْعِيَّة
جَمْعِيَّة نَهْضَةِ العُلَمَاءِ
لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللهِ



Allahumma shalli ‘alaa sayyidina Muhammad
Shalaatan turaghghibu wa tunasyithu

Wa tuhammisu biha al-jihaad li ihyaa-i
Wa i’laa-i diinil islaam

Wa idzhaari sya’aairihi ‘laa thariqati
Jam’iyyah nahdlatil ‘ulamaa’

Wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallim.
Allah Allah Allah Allah.
Tsabbit wanshur ahla jam’iyyah,

Jam’iyyah Nahdlatil Ulama
Li i’laa-i kalimatillah.

Artinya:

“Ya Allah bershalawatlah dan bersalamlah kepada Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan bacaan shalawat yang membuat kami menjadi senang, rajin dan bersemangat dalam berjuang menghidupkan dan meninggikan syiar agama islam serta menampakkan syiar-syiar islam menurut cara Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Dan bershalawat dan bersalam pulalah kepada para keluarga nabi dan para sahabatnya. Allah, Allah, Allah, Allah. Teguhkanlah dan tolonglah seluruh warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama untuk meninggikan kalimat Allah (agama islam beserta seperangkat ajarannya).

photo_2018-12-21_16-37-44


14 April 2020

Sholawat Nahdiyah


Lirik Sholawat
Karya: K.H. Hasan Abdul Wafi

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
صَلَاةً تُرَغِّبُ وَ تُنَشِّطُ
وَ تُحَمِّسُ بِهَا الجِهَاد لِإِحْيَاءِ
وَ اِعْلَاءِ دِيْنِ الإِسْلَام
وَاِظْهَارِشَعَائِرِهِ عَلَي طَرِيْقَةِ
جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ العُلَمَاءِ
وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
. اللهُ اللهُ اللهُ اللهُ.
ثَبِّتْ وَانْصُرْ اَهْلَ جَمْعِيَّة
جَمْعِيَّة نَهْضَةِ العُلَمَاءِ
لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللهِ


Allahumma shalli ‘alaa sayyidina Muhammad
Shalaatan turaghghibu wa tunasyithu

Wa tuhammisu biha al-jihaad li ihyaa-i
Wa i’laa-i diinil islaam

Wa idzhaari sya’aairihi ‘laa thariqati
Jam’iyyah nahdlatil ‘ulamaa’

Wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallim.
Allah Allah Allah Allah.
Tsabbit wanshur ahla jam’iyyah,

Jam’iyyah Nahdlatil Ulama
Li i’laa-i kalimatillah.

Artinya:
“Ya Allah bershalawatlah dan bersalamlah kepada Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan bacaan shalawat yang membuat kami menjadi senang, rajin dan bersemangat dalam berjuang menghidupkan dan meninggikan syiar agama islam serta menampakkan syiar-syiar islam menurut cara Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Dan bershalawat dan bersalam pulalah kepada para keluarga nabi dan para sahabatnya. Allah, Allah, Allah, Allah. Teguhkanlah dan tolonglah seluruh warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama untuk meninggikan kalimat Allah (agama islam beserta seperangkat ajarannya).

photo_2018-12-21_16-37-44

13 April 2020

haflkan


  اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 
Allâhummaj‘alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shlâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ‘ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu‘ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’I râdlîn. Wa lin na‘mâ’I syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta liwâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa alal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa minan nâri nâjîn. Wa 'alâ sariirl karâmati qâ'idîn. Wa bi hûrun 'in mutazawwijîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha‘âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka‘sin min ma‘în. Ma‘al ladzîna an‘amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman. Allâhummaj‘alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su‘adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj‘alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma‘în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. Artinya, “Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban-kewajiban, yang memelihara shalat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat, yang ridha dengan qadla-Mu (ketentuan-Mu), yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas junjungan kami Muhammad, serta seluruh keluarga dan shahabat beliau. Berkat rahmat-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Maslakul Akhyar, Cetakan Al-‘Aidrus, Jakarta). Tampak bahwa nama "kâmilîn" diambil dari redaksi pembuka doa ini yang memohon terbentuknya pribadi-pribadi sempurna (kâmilîn) dalam hal keimanan. Substansi doa ini cukup komplet, meliputi aspek duniawi dan ukhrawi, kenikmatan dan kesulitan, meminta kerbekahan malam mulia, diterimanya amal, dan lain sebagainya. Doa yang hampir selalu dibaca oleh umat Islam di Tanah Air ini juga  termaktub dalam kitab-kitab doa ulama Nusantara, salah satunya Majmû‘ah Maqrûât Yaumiyah wa Usbû‘iyyah karya pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Muhammad bin Abdullah Faqih (rahimahullâh). Pada lembar pengantar, sang ayah, KH Abdullah Faqih, mengatakan bahwa doa-doa dalam kitab itu merupakan hasil ijazah dari Kiai Abdul Hadi (Langitan), Kiai Ma'shum (Lasem), Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. KH Abdullah Faqih memberikan restu atau ijazah kepada siapa saja yang mengamalkan (dengan ijâzah munâwalah). Wallâhu a'lam bish shawâb.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/68880/doa-kamilin-dibaca-sesudah-shalat-tarawih

10 April 2020

DOA SETELAH TARAWIH


  اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 
Allâhummaj‘alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shlâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ‘ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu‘ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’I râdlîn. Wa lin na‘mâ’I syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta liwâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa alal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa minan nâri nâjîn. Wa 'alâ sariirl karâmati qâ'idîn. Wa bi hûrun 'in mutazawwijîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha‘âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka‘sin min ma‘în. Ma‘al ladzîna an‘amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman. Allâhummaj‘alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su‘adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj‘alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma‘în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. Artinya, “Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban-kewajiban, yang memelihara shalat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat, yang ridha dengan qadla-Mu (ketentuan-Mu), yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas junjungan kami Muhammad, serta seluruh keluarga dan shahabat beliau. Berkat rahmat-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Maslakul Akhyar, Cetakan Al-‘Aidrus, Jakarta). Tampak bahwa nama "kâmilîn" diambil dari redaksi pembuka doa ini yang memohon terbentuknya pribadi-pribadi sempurna (kâmilîn) dalam hal keimanan. Substansi doa ini cukup komplet, meliputi aspek duniawi dan ukhrawi, kenikmatan dan kesulitan, meminta kerbekahan malam mulia, diterimanya amal, dan lain sebagainya. Doa yang hampir selalu dibaca oleh umat Islam di Tanah Air ini juga  termaktub dalam kitab-kitab doa ulama Nusantara, salah satunya Majmû‘ah Maqrûât Yaumiyah wa Usbû‘iyyah karya pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Muhammad bin Abdullah Faqih (rahimahullâh). Pada lembar pengantar, sang ayah, KH Abdullah Faqih, mengatakan bahwa doa-doa dalam kitab itu merupakan hasil ijazah dari Kiai Abdul Hadi (Langitan), Kiai Ma'shum (Lasem), Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. KH Abdullah Faqih memberikan restu atau ijazah kepada siapa saja yang mengamalkan (dengan ijâzah munâwalah). Wallâhu a'lam bish shawâb.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/68880/doa-kamilin-dibaca-sesudah-shalat-tarawih

09 April 2020

HAFALAN DOA KAMILIN KELAS 10 IPA DAN IPS


  اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 
Allâhummaj‘alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shlâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ‘ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu‘ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’I râdlîn. Wa lin na‘mâ’I syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta liwâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa alal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa minan nâri nâjîn. Wa 'alâ sariirl karâmati qâ'idîn. Wa bi hûrun 'in mutazawwijîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha‘âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka‘sin min ma‘în. Ma‘al ladzîna an‘amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman. Allâhummaj‘alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su‘adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj‘alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma‘în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. Artinya, “Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban-kewajiban, yang memelihara shalat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat, yang ridha dengan qadla-Mu (ketentuan-Mu), yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas junjungan kami Muhammad, serta seluruh keluarga dan shahabat beliau. Berkat rahmat-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Maslakul Akhyar, Cetakan Al-‘Aidrus, Jakarta). Tampak bahwa nama "kâmilîn" diambil dari redaksi pembuka doa ini yang memohon terbentuknya pribadi-pribadi sempurna (kâmilîn) dalam hal keimanan. Substansi doa ini cukup komplet, meliputi aspek duniawi dan ukhrawi, kenikmatan dan kesulitan, meminta kerbekahan malam mulia, diterimanya amal, dan lain sebagainya. Doa yang hampir selalu dibaca oleh umat Islam di Tanah Air ini juga  termaktub dalam kitab-kitab doa ulama Nusantara, salah satunya Majmû‘ah Maqrûât Yaumiyah wa Usbû‘iyyah karya pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Muhammad bin Abdullah Faqih (rahimahullâh). Pada lembar pengantar, sang ayah, KH Abdullah Faqih, mengatakan bahwa doa-doa dalam kitab itu merupakan hasil ijazah dari Kiai Abdul Hadi (Langitan), Kiai Ma'shum (Lasem), Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. KH Abdullah Faqih memberikan restu atau ijazah kepada siapa saja yang mengamalkan (dengan ijâzah munâwalah). Wallâhu a'lam bish shawâb.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/68880/doa-kamilin-dibaca-sesudah-shalat-tarawih

08 April 2020

Doa Kamilin


  اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 
Allâhummaj‘alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shlâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ‘ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu‘ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’I râdlîn. Wa lin na‘mâ’I syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta liwâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa alal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa minan nâri nâjîn. Wa 'alâ sariirl karâmati qâ'idîn. Wa bi hûrun 'in mutazawwijîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha‘âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka‘sin min ma‘în. Ma‘al ladzîna an‘amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman. Allâhummaj‘alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su‘adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj‘alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma‘în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. Artinya, “Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban-kewajiban, yang memelihara shalat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat, yang ridha dengan qadla-Mu (ketentuan-Mu), yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas junjungan kami Muhammad, serta seluruh keluarga dan shahabat beliau. Berkat rahmat-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Maslakul Akhyar, Cetakan Al-‘Aidrus, Jakarta). Tampak bahwa nama "kâmilîn" diambil dari redaksi pembuka doa ini yang memohon terbentuknya pribadi-pribadi sempurna (kâmilîn) dalam hal keimanan. Substansi doa ini cukup komplet, meliputi aspek duniawi dan ukhrawi, kenikmatan dan kesulitan, meminta kerbekahan malam mulia, diterimanya amal, dan lain sebagainya. Doa yang hampir selalu dibaca oleh umat Islam di Tanah Air ini juga  termaktub dalam kitab-kitab doa ulama Nusantara, salah satunya Majmû‘ah Maqrûât Yaumiyah wa Usbû‘iyyah karya pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Muhammad bin Abdullah Faqih (rahimahullâh). Pada lembar pengantar, sang ayah, KH Abdullah Faqih, mengatakan bahwa doa-doa dalam kitab itu merupakan hasil ijazah dari Kiai Abdul Hadi (Langitan), Kiai Ma'shum (Lasem), Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. KH Abdullah Faqih memberikan restu atau ijazah kepada siapa saja yang mengamalkan (dengan ijâzah munâwalah). Wallâhu a'lam bish shawâb.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/68880/doa-kamilin-dibaca-sesudah-shalat-tarawih

06 April 2020

doa kamilin untuk dihafal semua kelas 10


  اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 
Allâhummaj‘alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shlâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ‘ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu‘ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’I râdlîn. Wa lin na‘mâ’I syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta liwâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa alal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa minan nâri nâjîn. Wa 'alâ sariirl karâmati qâ'idîn. Wa bi hûrun 'in mutazawwijîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha‘âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka‘sin min ma‘în. Ma‘al ladzîna an‘amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman. Allâhummaj‘alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su‘adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj‘alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma‘în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. Artinya, “Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban-kewajiban, yang memelihara shalat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat, yang ridha dengan qadla-Mu (ketentuan-Mu), yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas junjungan kami Muhammad, serta seluruh keluarga dan shahabat beliau. Berkat rahmat-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Lihat Sayyid Utsman bin Yahya, Maslakul Akhyar, Cetakan Al-‘Aidrus, Jakarta). Tampak bahwa nama "kâmilîn" diambil dari redaksi pembuka doa ini yang memohon terbentuknya pribadi-pribadi sempurna (kâmilîn) dalam hal keimanan. Substansi doa ini cukup komplet, meliputi aspek duniawi dan ukhrawi, kenikmatan dan kesulitan, meminta kerbekahan malam mulia, diterimanya amal, dan lain sebagainya. Doa yang hampir selalu dibaca oleh umat Islam di Tanah Air ini juga  termaktub dalam kitab-kitab doa ulama Nusantara, salah satunya Majmû‘ah Maqrûât Yaumiyah wa Usbû‘iyyah karya pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Muhammad bin Abdullah Faqih (rahimahullâh). Pada lembar pengantar, sang ayah, KH Abdullah Faqih, mengatakan bahwa doa-doa dalam kitab itu merupakan hasil ijazah dari Kiai Abdul Hadi (Langitan), Kiai Ma'shum (Lasem), Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. KH Abdullah Faqih memberikan restu atau ijazah kepada siapa saja yang mengamalkan (dengan ijâzah munâwalah). Wallâhu a'lam bish shawâb.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/68880/doa-kamilin-dibaca-sesudah-shalat-tarawih

03 April 2020

tugas kelas 10 ipa 3 dan 4

tuliskan isi pidato abu bakar shiddiq ketika dilantik menjadi khalifah
dan terjemahannya
kemudian kirim ke email
ariefhakimofficial@gmail.com
paling lambat 
jam 8 malam

02 April 2020

tugas kelas 10 ipa 2 5 6

tuliskan isi pidato abu bakar shiddiq ketika dilantik menjadi khalifah
dan terjemahannya
kemudian kirim ke email
ariefhakimofficial@gmail.com
paling lambat 
jam 8 malam

01 April 2020

tugas kelas 10 ips 1 dan 10 ipa 1

tuliskan isi pidato abu bakar shiddiq ketika dilantik menjadi khalifah
dan terjemahannya
kemudian kirim ke email
ariefhakimofficial@gmail.com
paling lambat 
jam 8 malam

LATIHAN PAT KELAS 10 IPA 1 2 3 4

  Pilihlah jawaban yang benar ! 1.          Allah S WT telah mewajibkan menuntut ilmu bagi setiap muslim, diantara dalil perintah ...