HADITS KE-1203
وَعَنْ
اَلنَوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ رضي الله عنه قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ اَلْبِرِّ وَالْإِثْمِ؟ فَقَالَ: (
اَلْبِرُّ حُسْنُ اَلْخُلُقِِ, وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ,
وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ اَلنَّاسُ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari An-Nawwas bin Sam’an radiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, Beliau bersabda: “Kebaikan
adalah akhlak yang baik sedangkan dosa adalah apa yang terlintas di
jiwamu tetapi kamu benci/takut diketahui oleh orang lain”, diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Takhrij hadits secara global
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Muslim ; hadits no. 2553, Imam Ahmad ;
4/182, At-Turmuzi ; hadits no. 2389, Ad-Darimi ; 2/322, Imam Bukhari
dalam kitabnya “Al-Adab Al-Mufrad” ; hal. 295, 302 . Hadits ini
ditashhih oleh Ibnu Hibban; Shahih Ibn Hibban, hal. 397.
Makna hadits secara global
Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam menginformasikan kepada kita bahwa
kebaikan adalah merupakan bagian dari akhlak yang baik yang dapat
diketahui melalui hati nurani kita sebagaimana dijelaskan dalam riwayat
yang lain dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyarankan kepada
kita agar kita minta ‘fatwa’ kepada hati nurani kita ketika terjadi
perkara yang samar-samar karena sesungguhnya kebaikan itu adalah
kebalikan dari dosa tersebut yaitu apa yang membuat jiwa/hati nurani
tenang dan tentram kepadanya. Artinya apabila jiwa/hati nurani kita
tidak menolaknya begitu pertama kali ingin kita lakukan dan tidak
ragu-ragu atau merasa takut untuk diketahui oleh orang lain alias tidak
sembunyi-sembunyi melakukannya maka itu merupakan tanda bahwa hal
tersebut adalah baik.
Begitu
pula sebaliknya, apabila begitu pertama kali ingin kita lakukan terasa
was-was dan kita dalam melakukannya, takut diketahui oleh orang lain
atau timbul keraguan untuk melakukannya (seperti dalam riwayat yang
lain) maka itu pertanda bahwa apa yang kita akan lakukan itu adalah
dosa.
Penjelasan Tambahan
Makna “al-Birr” dan karakteristiknya
Hadits-Hadits
yang membicarakan hal ini sebagiannya mengandung penafsiran terhadap
makna “al-Birr” (Kebaikan) dan “al-Itsm” (Dosa) dan sebagian yang lain
mengandung penafsiran terhadap makna halal dan haram. Terjadinya
perbedaan interpretasi terhadap makna “al-Birr” karena ia sering
diucapkan dalam dua konteks tertentu; Pertama, dalam konteks bermuamalat
kepada makhluk yang dimaksudkan sebagai berbuat kebaikan kepada mereka.
Terkadang pemakaiannya (kata “al-Birr”) hanya khusus dipakai dalam arti
berbuat baik kepada kedua orang tua maka dikatakan ” ” (berbuat baik
kepada kedua orang tua) tetapi lebih banyak dipakai dalam konteks
berbuat baik kepada makhluk secara umum, oleh karenanya banyak ulama
dalam kitabnya menyajikan bab/kitab tersendiri yang dinamai ” ” dimana
terdapat pembahasan tentang dan berbuat baik kepada makhluk secara umum.
Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata :
“Kebaikan
adalah sesuatu yang enteng/ringan yaitu wajah yang ceria dan ucapan
yang lembut”. Kata “al-Birr” apabila dikaitkan dengan “taqwa”
sebagaimana dalam ayat :
( )
maka terkadang maksud dari “al-Birr” adalah bermuamalat dengan makhluk
secara baik dan “at-Taqwa” adalah bermuamalat dengan Allah yaitu dengan
melakukan ketaatan kepadaNya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan
olehNya, terkadang pula arti dari “al-Birr” tersebut adalah melakukan
kewajiban-kewajiban dan arti “at-Taqwa” adalah menjauhi hal-hal yang
diharamkan.
Sedangkan arti dosa, sebagaimana dalam ayat :
( )
terkadang yang dimaksud dengan “al-Itsm” adalah perbuatan-perbuatan
maksiat dan “al-‘udwan” adalah menzalimi makhluk, dan terkadang yang
dimaksud dengan “al-Itsm” adalah sesuatu yang esensinya memang
diharamkan seperti zina, mencuri dan minum khamar (bir), dan yang
dimaksud dengan “al-‘Udwan” adalah melampaui batas sesuatu yang memang
diizinkan (secara syar’i) sebelumnya sehingga menjadi dilarang seperti
mengambil zakat yang dikeluarkan oleh para wajib zakat melebihi ukuran
yang diwajibkan kepada mereka, melampaui cambukan yang diperintahkan
oleh syara’ dalam masalah hudud, dll.
Kedua,
Yang dimaksud dengan “al-Birr” adalah mengerjakan semua ketaatan baik
yang zhahir maupun yang bathin sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat
177. Berkaitan dengan ayat 177 surat al-Baqarah; maka makna “al-Birr”
mencakup seluruh ketaatan yang bathin seperti beriman kepada Allah,
MalaekatNya, Kitab-Kitab dan Para RasulNya, begitu juga ketaatan yang
zhahir seperti menginfakkan harta ke jalan yang diridhai oleh Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, menepati janji, sabar terhadap taqdir
seperti kemiskinan dan penyakit, dst. Dalam pada itu, bisa jadi arti
“husnul khuluq” adalah berakhlak dengan akhlak syari’at secara
keseluruhan dan bertata krama dengan tata krama yang telah diajarkan
oleh Allah kepada hambaNya, sebagaimana tersurat dalam firmanNya:
( ).
[Q.S. Al-Qalam : 2]. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata : “akhlak Rasul
Shallallahu ‘alaihi Wasallam Al-Quran”. Maksudnya menurut Syaikh Ibnu
Rajab, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam beradab dengan adabNya
karenanya beliau menjalankan seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh
laranganNya maka dengan demikian mengamalkan Al-Quran sudah menjadi
akhlak beliau seperti hal nya sifat alami yang begitu melekat dan tidak
terpisahkan lagi dan inilah akhlak yang paling baik, paling mulia dan
paling indah. Karena itu pula dikatakan bahwa agama seluruh ajarannya
adalah akhlak.
Tidak
jauh dari penfsiran “al-Birr” , sebagaimana dalam riwayat yang lain,
disebutkan bahwa “al-Birr adalah apa yang membuat hati dan jiwa tenteram
kepadanya”, atau “apa yang membuat dada lapang” maka kata “al-Halal”
juga ditafsirkan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah
memfitrahkan kepada manusia untuk mengetahui kebenaran, membuat hati
tenang dan menerimanya, serta menjadikan tabiat selalu mencintainya dan
menjauhi lawannya/hal yang bertentangan dengannya.
Termasuk
dalam makna riwayat-riwayat hadits diatas, makna hadits qudsi yang
menyatakan bahwa Allah menciptakan hamba-hambaNya sebagai orang-orang
yang hunafa’ (lurus) dan muslimin (berserah diri kepadaNya) namun
syaithanlah yang melencengkannya dengan mengharamkan apa yang Allah
halalkan kepada mereka, dan mengajak mereka untuk berbuat syirik
kepadaNya, begitu juga makna hadits yang amat populer yang berbunyi: ”
Tiap-Tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah maka kedua orang
tuanyalah yang meyahudikannya atau menasranikannya atau memajusikannya …
” dan ayat 30 surat ar-Rum. Oleh karenanya, Allah menamai apa yang
diperintahkanNya sebagai “ma’ruf” dan apa yang dilarangNya sebagai
“munkar”.
Berkaitan
dengan hal itu juga, sahabat Mu’az bin Jabal mengingatkan agar kita
tidak terpasung oleh kepiawaian seorang penguasa dalam berkelit karena
terkadang syaithan menyatakan kesesatan melalui lisan sang penguasa
tersebut, dan terkadang seorang Munafiq bisa berkata dengan perkataan
yang benar. Dan ketika dia (Mu’az) ditanyai kenapa bisa demikian ?, dia
meminta agar kita menjauhi perkataan seorang penguasa yang amat populer
(dalam berkelit) “bukan begini (sebenarnya)?”, dan agar perkataan
semacam itu tidak membuat kita tergoda/terpasung untuk menerima
kebenaran yang kita dengar sebab kebenaran itu memiliki cahaya. Ucapan
Mu’az bin Jabal ini menunjukkan bahwa seorang Mukmin tidak akan bisa
dikelabui dalam membedakan antara hak dan bathil tetapi ia bisa
mengetahui kebenaran itu melalui cahaya yang ada padanya (kebenaran
tersebut) sehingga hatinya menerimanya dan menghindari kebathilan dengan
mengingkari dan tidak ingin mengenalnya.
Makna
inilah yang terdapat dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam :
“akan datang pada akhir zaman suatu kaum yang berbicara kepada kamu
tentang sesuatu yang tidak pernah kamu dan nenek moyang kamu denganr
(sebelumnya) maka berhati-hatilah kamu dari mereka “. Artinya bahwa
mereka membawa sesuatu yang diingkari/ditolak oleh hati orang-orang yang
beriman dan tidak mengenalnya.
Makna “al-Itsm” dan karakteristiknya
Sementara
itu, sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam : “dosa adalah apa
yang terdetik didalam dada/hati sedangkan kamu benci/takut diketahui
oleh orang lain”(sebagaimana dalam penggalan kedua dalam makna hadits
diatas), mengisyaratkan bahwa pengaruh dosa terhadap jiwa/dada sangat
besar sekali yaitu adanya rasa sesak, cemas, gundah gulana sehingga dada
tidak merasa lega/lapang untuk menerimanya, disamping hal itu sangat
ditolak/diingkari oleh orang banyak dimana mereka akan langsung
mengingkarinya begitu mengetahuinya.
Dalam mengidentifikasi karakteristik dosa yang dalam kondisi yang samar-samar terdapat tingkatan-tingkatan, diantaranya ;
–
Mengetahui hal itu dari reaksi yang ditimbulkan oleh orang banyak yaitu
pengingkaran/penolakan mereka terhadap pelakunya atau bukan pelakunya
dan ini merupakan tingkatan paling tinggi. Senada dengan hal ini adalah
ucapan Sahabat Ibnu Mas’ud yang amat populer: “Apa yang dipandang oleh
orang-orang mukminin baik maka hal itu adalah baik disisi Allah, dan apa
yang mereka pandang jelek maka hal itu adalah jelek disisi Allah “.
–
Sangsi terhadap apa yang difatwakan/masukan dari orang lain (yang
menganggap/memandang hal itu adalah bukan dosa) dan ciri/caranya adalah
dangan mengetahui bahwa sesuatu (perbuatan) itu sangat diingkari oleh
pelakunya tetapi tidak diingkari oleh orang lain (dianggap biasa). Makna
inilah yang terdapat dalam lafazh riwayat yang lain; ” ” (meskipun kamu
diberi fatwa/masukan oleh orang lain). Kondisi ini bisa terjadi bila
orang yang diberi fatwa/masukan itu adalah orang yang dilapangkan
dadanya oleh Allah dengan iman sedangkan orang yang memberikan
fatwa/masukan itu sekedar menduga-duga atau mengikuti hawa nafsunya
tanpa dilandasi dalil syar’i, akan tetapi bila yang difatwakan/masukan
itu berdasarkan dalil syat’i, maka dia (orang yang diberi fatwa/masukan)
wajib merujuknya/meresponsnya meskipun dada/hatinya belum terbuka untuk
menerimanya seperti perihal rukhshah yang disyari’atkan; semisal
berbuka puasa ketika dalam keadaan bepergian, sakit, mengqashar shalat,
dll yang bagi orang-orang yang jahil tidak terbuka hatinya untuk
menerima itu, maka hal ini (pengingkaran mereka) tidak bisa dijadikan
‘ibrah (dalil/alasan). Dan hal semacam ini pernah dialami oleh para
sahabat contohnya perintah Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam pada
waktu haji agar mereka melakukan haji tamattu’ atau ketika perjanjian
Hudaibiyah. Ketika itu mereka sempat mengingkarinya karena hati mereka
menolaknya.
Masalah Ilham
Persoalan
merujuk kepada hati nurani dalam menghadapi hal yang masih samar
sebagaimana hadits diatas berimplikasi kepada masalah ilham yang sering
diperbincangkan oleh para Fuqaha Syafi’iyah dan Hanafiyah yang menganut
aliran kalam dalam Ushul Fiqh; apakah ilham tersebut hujjah atau bukan
dalam pengambilan hukum syar’i ?. Dalam masalah ini banyak sekali
pendapat-pendapat khususnya di kalangan kaum Sufi dan Ahli Kalam yang
semuanya tidak berdasarkan kepada dalil syar’i . Karenanya Imam Ahmad
mengecam hal itu dan beliau menganjurkan agar merujuk kepada hati nurani
dalam menghadapi hal yang masih samar tersebut bila hal itu berdasarkan
dalil syar’i sebab nash-nash nabawi yang menganjurkan hal itu sangat
jelas. Artinya kecamannya terhadap kaum Sufi dan Ahli Kalam bukan atas
perbuatan merujuk hati nurani tetapi atas kebiasaan mereka seperti itu
yang dilakukan tanpa dalil syar’i .
Dalam
ilmu hadits, kacamata ini (ilham) dipakai oleh Ulama Hadits yang
benar-benar menggeluti dan mengusainya (an-Naqqad) . Hal itu mereka
lakukan dalam menilai keadaan para perawi dan para pemberita dan
sifat-sifat mereka seperti kejujuran dan kebohongan mereka, kekuatan
daya hafal dan kedhabitan mereka, tetapi orang-orang seperti ini sangat
langka sekali. Diantara Ulama Hadits yang dianggap memiliki cara dan
naluri seperti ini (ilham) adalah Imam Abu Zur’ah, Abu Hatim ar-Razi,
Abdurrahman bin Mahdi, an-Nasai, al-‘Uqaili, Ibnu ‘Adi dan
ad-Daruquthni.
Intisari Hadits
Dalam hadits diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
-
Kebaikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang terdetik di dalam hati/jiwa sedangkan pelakunya takut/benci diketahui oleh orang lain.
-
Dalam menghadapi hal yang masih samar dan meragukan, kita dianjurkan untuk merujuk/meminta “fatwa” hati nurani dan hal ini bagi orang Mukmin yang dilapangkan hati/dadanya oleh Allah sangat mudah dilakukan olehnya sehingga mereka jarang terkelabui dalam membedakan antara hak dan bathil.
-
Makna “al-Birr” sangat luas cakupannya begitu juga makna “al-Itsm” dan masing-masing sudah memiliki karakteristik tersendiri yang dapat diidentifikasi.
-
Hanya orang-orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah lah yang dapat melihat suatu kebenaran dengan ilham yang berdasarkan kepada dalil syar’i seperti yang dilakukan Ulama Hadits Pilihan (an-Naqqad).
[ Disarikan dari Kitab karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hambali, Juz II, hal. 93-108 ].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar